Bagaikan Bunga Matahari
Aroma bunga lavender dan debu menari-nari di bawah sinar matahari sore yang menembus jendela loteng Zoya. Setiap benda yang dipegangnya, cangkir teh yang retak, foto yang pudar…terasa seperti pecahan kaca yang merefleksikan kenangan yang retak tiga tahun lalu. Hidup yang dilewati dengan berbagi tawa sambil menikmati secangkir teh hangat dan perbincangan bahwa persahabatan mereka berlangsung selamanya di bawah temaran sinar bintang, semuanya dicuri oleh takdir yang kejam. Isak tangis tercekat keluar dari bibirku saat aku memeluk boneka bulat yang sudah usang, bulunya usang karena air mata yang berdesakan keluar. Boneka ini milik Lolita, sahabatku sejak kecil. Luka di hatiku membuka jurang kesedihan yang menganga, terasa begitu perih seperti biasanya.
Tiba-tiba aku mendengar suara cakaran lembut dari jendela loteng. Seekor kucing kecil berwarna cokelat dengan mata seperti emas cair menatapku, kepalanya dimiringkan dengan rasa ingin tahu. Aku mengedipkan mataku beberapa kali karena terkejut. Rumah ini sudah kosong selama berbulan-bulan. Dengan ragu, aku membuka jendela sedikit supaya kucing itu masuk. Ia mengais-ngais dengan lembut diatas lantai berdebu. Kucing itu menyenggol boneka bulat dengan kepalanya, lalu duduk di sampingku, suara dengkuran halus terdengar keluar dari tenggorokannya.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, aku merasakan gelenyar kehangatan dalam hatiku. Aku membelai bulu kucing itu dengan lembut, dengkurannya seolah menjadi obat yang menenangkan dari rasa sakit yang terus-menerus kurasakan. Itu hanya hal kecil, seekor kucing liar yang mencari perlindungan, tetapi dengan kehadirannya, beban kesedihan yang berat terasa berkurang.
Keesokan harinya, aku terbangun dengan tujuan yang baru. Aku membeli makanan kucing dan menamai kucing jahe itu ‘Shalom’, nama yang sesuai karena membawa kedamaian bagiku. Saat aku merawatnya, sebuah rutinitas mulai terbentuk, sebuah struktur yang mulai membawa keteraturan dalam hidupku yang semula kacau.
Suatu sore, saat mengajak Shalom berjalan-jalan dengan tali, kami menemukan sebuah taman yang tersembunyi di balik deretan rumah. Perpaduan warna yang semarak, bunga matahari yang menggapai matahari, tomat gemuk yang matang di pohonnya, sangat kontras dengan suasana sekitarnya yang sepi. Seorang wanita tua dengan mata yang ramah dan jari-jari yang berlumuran tanah menyambut kami. Aku, yang awalnya ragu-ragu, akhirnya terlibat dalam percakapan. Aku belajar tentang taman tersebut, yang merupakan sebuah upaya komunitas untuk menghidupkan kembali sudut kota yang terabaikan.
Ketika aku dan Shalom menjadi pengunjung tetap, sebuah perasaan baru tumbuh di dalam diriku, sebuah harapan sementara. Akupun mulai membantu, menyiangi petak-petak bunga dan mempelajari rahasia memelihara di bumi. Ini bukanlah pengganti akan apa yang hilang, tetapi permulaan, sebuah cara untuk memperbaiki bagian hatiku yang retak.
Pada suatu malam di musim gugur yang dingin, dikelilingi kehangatan para tukang kebun lainnya dan cahaya kunang-kunang yang berkelap-kelip, aku merasakan air mata menetes di pipiku. Bukan air mata kesedihan, tetapi air mata syukur. Luka di hatiku masih ada, bekas luka yang lembut, tetapi tidak lagi menguasai diriku. Aku menyadari bahwa hidup ini seperti sebuah taman. Penuh dengan kehilangan dan pertumbuhan, keindahan dan ketangguhan. Dan seperti bunga matahari yang menggapai matahari, aku juga akan terus tumbuh.
0 Comments Add a Comment?